JDIH Kabupaten Purwakarta Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum

Cari Produk Hukum

Diskresi Pemerintah Dalam Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah
Oleh Administrator Pada Kamis, 27 Mei 2021 10:35

DISKRESI PEMERINTAH

DALAM PENGADAAN BARANG/ JASA PEMERINTAH

Disusun oleh : ARI SYAMSURIZAL, SH. M.Kn

Kepala Sub Bagian Bantuan Hukum

Pada Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Purwakarta

 

Latar Belakang

Latar Belakang Terkait pengadaan barang dan jasa yang didasarkan kewenangan diskresi pemerintah yakni pengadaan barang dan jasa dengan metode penunjukan langsung memiliki kekhasan tersendiri karena tidak seperti pengadaan barang/ jasa pada umumnya yang melalui lelang.

Pengadaan barang dan jasa dengan cara penunjukan langsung merupakan pelaksanaan dari kewenangan diskresi aparat pemerintah untuk menggunakan dan membelanjakan keuangan negara sehingga harus dapat dipertanggungjawabkan aspek kemanfaatan sebagai tujuan. Aktivitas pengadaan barang dan jasa terdapat 3 (tiga) pelaku utama yaitu pengguna/pengusul, penyedia barang/jasa dan pelaksana pengadaan. Tanggung jawab dalam pengadaan barang dan jasa tertuju kepada pihak-pihak yang memiliki kecakapan hukum baik secara perorangan, jabatan maupun korporasi.

Diskresi rentan untuk dianulir baik secara politik maupun secara hukum, terlebih lagi bila diskresi itu sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara yang pada prinsipnya menekankan aspek legalitas.

Pengadaan barang dan jasa yang dilakukan dengan penunjukan tidak serta merta menjadi tindak pidana korupsi, karena ada penunjukan langsung yang sesuai dengan ketentuan. Dengan demikian maka tolok ukur ataupun parameter dalam mengawasi kebijakan dalam pengadaan barang dan jasa dengan penunjukan langsung harus terdapat patokan yang jelas baik aspek kewenangan, substansi dan prosedur demi menjamin kepastian hukum.

Berdasarkan kewenangan diskresi pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa maka penulis mencoba mengembangkan dua permasalahan yang menurut penulis perlu untuk didalami lebih jauh yaitu :

  1. Bagaimanakah konsep kewenangan diskresi pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa ?
  2. Bagaimanakah prosedur hukum tindakan diskresi pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa dengan metode penunjukan langsung ?

 

PEMBAHASAN

Konsep Diskresi

Indonesia sebagai sebuah negara hukum tentu sumber kewenangan pemerintah untuk menjalankan fungsinya bersumber pada peraturan perundang-undangan. kewenangan tersebut ada yang bersifat terikat dan bersifat bebas (diskresioner).

Dalam sebuah negara kesejahteraan welfare state ekspektasi rakyat terhadap pemerintah sangatlah besar, sehingga fungsi pemerintah juga menjadi luas guna mewujudkan harapan masyarakat. Dengan kondisi yang demikian tidak mungkin seluruh kebijakan pemerintah dituangkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan sehingga kebebasan bertindak pemerintah diperlukan untuk mengisi kekosongan. Memang idealnya setiap langkah dan perbuatan pemerintah harus berdasarkan kaidah hukum yang berlaku, akan tetapi dalam kenyataannya ajaran wetmatigheid van bestuur ini kadang-kadang hanyalah fiksi belaka.

Diskresi merupakan kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap kondisi yang dihadapi.

Kebebasan mengambil keputusan sendiri tersebut seringkali menjadi sumber kontroversi manakala tolok ukur tiap pemangku kepentingan memberikan penilaian yang berbeda-beda terhadap tindakan diskresi. Konsep Kekuasaan diskresi pemerintah dapat dilakukan dengan pendekatan analitik, yuridis, dan filosofis

Dengan pendekatan yang demikian konprehensif akan membantu memaknai konsep diskresi yang sesungguhnya. Diskresi seringkali diperhadapkan dengan asas legalitas, dalam sebuah negara hukum asas legalitas menempati kedudukan utama. Konsep yuridis kekuasaan diskresi berimpitan dengan dan tarik menarik dengan konsep legalitas. Bila menerapkan asas legalitas secara kaku maka pemerintah akan mengalami kesulitan dalam mengantisipasi perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat, karena setiap pemerintah harus menunggu adanya peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga legislatif. Beranjak dari hal itu maka kekuasaan diskresi dapat dikatakan delegasi dari pembentuk undang-undang untuk melakukan tindakan nyata maupun tindakan hukum dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan. Memang senyatanya tidak semua peristiwa atau persoalan dapat dipecahkan oleh produk-produk legislatif, hal itu memberikan kebebasan pihak eksekutif sebagai pelaksana undang-undang untuk bisa mengambil kebijakan yang harus dipertanggung jawabkan.

Diskresi dalam Pengadaan Barang/Jasa

Pengadaan memerlukan anggaran yang besar baik yang bersumber dari APBN maupun APBD. dalam pelaksanaan pengadaan tersebut pihak pemerintah merupakan pihak yang mengatur tata cara pengadaan barang dan jasa. Secara umum pengadaan barang dan jasa dilakukan dengan lelang. Lelang sebagai sebuah proses yang harus dilakukan untuk pengadan barang dan jasa dalam keadaan yang normal, untuk keadaan-keadaan tertentu maka mekanisme lelang tidak diterapkan, melainkan dengan metode penunjukan langsung.

Jadi kewenangan diskresi itu diwujudkan dalam menetapkan metode pengadaan barang dan jasa dengan metode penunjukan langsung. Peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang pengadaan barang dan jasa adalah Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa  Dalam peraturan tersebut diatur mengenai metode pengadaan barang dan jasa dengan Penunjukan langsung. penunjukan adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa dengan cara menunjuk langsung 1 (satu) penyedia barang/jasa.

Yang menarik pengadaan barang/jasa yang bersifat rahasia tidak lagi termasuk dalam kategori barang/jasa yang dapat dilakukan dengan metode penunjukan langsung. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa barang/jasa yang bersifat rahasia bukan lagi menjadi dasar kebijakan atau diskresi dalam menetapkan metode penunjukan langsung pengadaan barang/jasa. Perpres No 70 tahun 2012 mengatur tentang kewenangan ULP/Pejabat Pengadaan untuk memilih sistem pengadaan pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya.

Pemilihan penyedia barang/jasa lainnya itu dilakukan dengan pelelangan yang terdiri atas pelelangan umum dan pelelangan sederhana, penunjukan langsung, pengadaan langsung, atau kontes/sayembara.

Sedangkan dalam pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi terdapat perbedaan, kalau pemilihan dalam pengadan barang/jasa itu terdapat pelelangan sederhana, lainnya halnya dengan pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi terdapat pelelangan terbatas, selebihnya kedua-duanya sama.

Prosedur Hukum Diskresi Pemerintah Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa Melalui Penunjukan Langsung

Bahwa sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan dalam Perpres 35 tahun 2011 tentang perubahan atas perpres no 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah, antara lain menyatakan :

Menimbang :

  1. bahwa sehubungan dengan adanya gugatan/tuntutan hukum dari pihak tertentu kepada  Pemerintah,  yang  sifat  pekerjaan  atau pembelaannya harus segera dan tidak dapat ditunda, perlu dilakukan pengadaan  konsultan  hukum/advokat atau arbiter  yang  tidak direncanakan sebelumnya, secara cepat dengan tetap mengutamakan aspek kualitas, efisiensi dan tepat waktu;
  2. bahwa  sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana  dimaksud pada huruf a,  perlu segera menetapkan konsultan hukum/advokat atau arbiter  melalui penunjukan  langsung  dengan  tetap  mengacu pada  kaidah-kaidah  yang berlaku  dalam  pengadaan  barang/jasa Pemerintah;

Pasal 44

(1) Penunjukan Langsung terhadap 1 (satu) Penyedia Jasa Konsultansi dapat dilakukan dalam keadaan tertentu.

(2) Kriteria keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:  a,…..d…….,e. pekerjaan  jasa  konsultansi  di  bidang hukum  meliputi konsultan hukum/advokat atau pengadaan arbiter yang tidak direncanakan sebelumnya, untuk menghadapi gugatan dan/atau tuntutan hukum dari pihak tertentu kepada Pemerintah, yang sifat pelaksanaan pekerjaan dan/atau pembelaannya harus segera dan tidak dapat ditunda.

Apabila menelaah pada bagian menimbang dan pasal 44 terdapat beberapa hal yang menjadi landasan untuk melaksanakan pengadaan ini, antara lain :

1. Sifat pekerjaan atau pembelaan bersifat segera dan tidak dapat ditunda;

2. Pengadaan yang tidak direncanakan sebelumnya;

3. Menghadapi  gugatan dan/atau tuntutan hukum dari  pihak tertentu Kepada Pemerintah.

Sebagai contoh kasus diceritakan seorang PPK yang dijadikan tersangka oleh instansi Penegak Hukum, telah meminta bantuan hukum berupa pendampingan oleh Biro Hukum. Namun Biro Hukum karena tidak memilili anggaran dan karena tidak di anggarkan, sehingga permintaan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Biro Hukum tsb.

Berangkat dari cerita ini diskusi berkembang, dan akhirnya mendapat refensi Pak Mandar dari milis instruktur PBJ, serta referensi lain di internet, yaitu :

  1. Peraturan Menteri Keuangankeu No.158/PMK.01/2012 tentang Bantuan Hukum di Lingkungan    Kementerian Keuangan;
  2. Peraturan Menteri Keuangankeu No. 159/PMK.01/2012 tentang Tata cara, Persyaratan dan Besaran     Pemberian Bantuan Biaya Penyelesaian Masalah Hukum dalam Perkara Pidana di Lingkungan Kementerian Keuangan.

Peraturan Menteri Keuangan tersebut mungkin dapat di adopsi oleh instansi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam penanganan bantuan hukum di lingkungannya. Berdasarkan referensi tersebut mencoba untuk menyandingkan dengan apa yang tertuang dalam Perpres No. 35/2011 tersebut.

I.  SIFAT PEKERJAAN YANG SEGERA DAN TIDAK DAPAT DITUNDA, DAN YANG TIDAK DIRENCANAKAN SEBELUMNYA.

Sudah pasti gugatan, tuntutan hukum dapat terjadi kapan saja tanpa melihat tahun anggaran keuangan negara, dimana penganggaran keuangan negara dilakukan atau diproses setahun sebelumnya. Dengan demikian otomatis tidak ada anggaran khusus untuk menghadapi gugatan atau tuntutan hukum.

Atau bisakah gugatan atau tuntutan ini dapat diperkirakan sebelumnya ?
Siapakah yang mengganggarkan biaya untuk pelaksanaan kegiatan ini, Biro Hukum kah atau satuan kerja yang sedang tersangkut kasus hukum ?

Kalau melihat permasalahan ini dapat saja dilakukan pengajuan anggaran, akan tetapi bagaimana jika tuntutan terjadi di pertengahan tahun anggaran atau menjelang akhir tahun anggaran.

Lalu berapa anggaran yang dibutuhkan, dan bagaimana dalam penyusunan KAKnya, seberapa luas ruang lingkup pekerjaannya sehingga dalam melakukan pembelaan dapat dilakukan dengan baik, karena apabila tuntutan hukum telah terjadi, akan ada proses selanjutnya, misalnya pemanggilan saksi saksi dan lain sebagainya dimana waktu pelaksanaannya diluar wewenang pihak yang digugat/dituntut dan berapa banyak personil konsultan yang dibutuhkan untuk memberikan pembelaan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangankeu No.158/PMK.01/2012 tersebut dinyatakan antara lain :

  1. Pelaksanaan Bantuan Hukum dilaksanakan oleh Biro Bantuan Hukum (Ps. 5)
  2. Penanganan Bantuan Hukum terdiri dari :

          - yang mengarah pada proses pengadilan

          - yang sedang dalam proses pengadilan

          - setelah ada Putusan Pengadilan (Ps. 6)

      3. Pemberian bantuan meliputi :

  1. nasihat hukum khususnya mengenai hak dan kewajiban saksi,ahli atau tersangka dalam setiap tahapan pemeriksaan oleh penyelidik/penyidik;
  2. konsultasi hukum yang berkaitan dengan materi tindak pidana;
  3. pemahaman tentang ketentuan hukum acara pidana yang harus diperhatikan oleh saksi, ahli atau tersangka;
  4. pendampingan kepada saksi atau ahli di hadapan penyelidik/penyidik;
  5. mengkoordinasikan dengan Unit atau instansi terkait dalam menyiapkan materi untuk kepentingan pemberian keterangan/kesaksian;
  6. hal-hal lain yang berkaitan dengan pemberian Bantuan Hukum. (Ps. 11)
  7. Kementerian dapat menggunakan Jaksa Pengacara Negara dan/atau advokat untuk masalah hukum bidang perdata, niaga, tata usaha negara, sengketa perpajakan dan/atau permohonan uji materiil sepanjang mendapat ijin tertulis dari Menteri (ps. 46)
  8. Dalam penanganan bantuan hukum dapat bekerja dengan advokat, akademisi dan praktisi baik di bidang hukum maupun bidang ilmu lainnya (Ps. 48)
  9. Pembiayaan di bebankan pada APBN Kementerian (Ps. 50)

Pada Peraturan Menteri Keuangankeu No. No.158/PMK.01/2012, bahwa Pemberian bantuan biaya dianggarkan dalam DIPA masing-masing Unit eslelon I dan dilaksanakan oleh :

  1. Biro bantuan hukum dalam hal permohonan bantuan biaya diajukan oleh mantan menteri, wamen/mantan wamen, atau sekrataris jenderal/mantan sekretaris jenderal;
  2. Biro/Pusat di lingkungan Sekretariat Jenderal dalam hal permohonan bantuan biaya diajukan oleh pejabat/mantan pejabat, pegawai, pensiunan atau mantan pegawai di lingkungan biro/pusat yang bersangkutan;
  3. Sekretaris Unit Eselon I dalam hal permohonan bantuan biaya diajukan oleh pejabat/mantan pejabat, pegawai, pensiunan atau mantan pegawai yang tercatat di Unit eselon I bersangkutan.

II. MENGHADAPI GUGATAN DAN/ATAU TUNTUTAN HUKUM DARI PIHAK TERTENTU KEPADA PEMERINTAH

Dalam diskusi di milis instruktur PBJ, saya menanyakan tentang kata “Pemerintah”, yang dimaksud pada Perpres No. 35/2011 siapa, apakah institusinya atau masing-masing individu yang berada dalam naungan instansi pemerintah berhak mendapatkan bantuan hukum.

Bermacam-macam pendapat disampaikan oleh para instruktur PBJ ini, memang tidak ada yang salah sebab semuanya memungkinkan. Namun lagi-lagi PMK 158/PMK.01/2012 kita jadikan refensi. Pada pasal 4 dinyatakan Pemberian Bantuan Hukum oleh Kementerian diberikan kepada Unit,Menteri/Mantan Menteri, Wamen/Mantan Wamen, Pejabat, Pegawai, Pensiunan dan/atau Mantan Pegawai di lingkungan Kementerian yang mendapatkan Masalah Hukum.
dengan kata lain kata pemerintah menaungi sebagaimana dinyatakan dalam pasal 4 PMK tersebut.

Begitu juga dengan jenis masalah bidang hukum yang dapat dinaungi dalam PMK tersebut dinyatakan pada pasal 12 yaitu Unit, Menteri/Mantan Menteri, Wamen/Mantan Wamen, Pejabat, Pegawai, Pensiunan dan/atau Mantan Pegawai yang mendapatkan masalah bidang hukum perdata, tata usaha negara, niaga, agama atau perpajakan yang patut diduga akan menimbulkan gugatan melalui badan peradilan, dapat memperoleh Bantuan Hukum.

Untuk kasus pidana korupsi tidak menjadi point dalam lingkup PMK ini, dengan kata lain bagi yang bermasalah tindak pidana korupsi menjadi urusan pribadi sehingga untuk penanganannya tidak menggunakan APBN/APBD.

 

KESIMPULAN

Kewenangan diskresi tidak diuji dengan wetmatigheid melainkan doelmatigheid, karena konsep diskresi berorientasi pada tujuan kemanfaatan, bukan kepastian hukum dalam arti harus sesuai dengang peraturan perundang-undangan, sehingga yang menjadi pijakan normatif pengujian tindakan diskresi adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik. Mencermati bahwa metode penunjukan langsung dalam pengadaan barang/jasa merupakan tindakan diskresi aparat pemerintah, maka tindakan itu harus didasarkan pada tujuan kemanfaatan bagi kepentingan umum dengan memperhatikan asas-asas dan etika dalam pengadaan barang dan jasa, Keberadaan asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan rambu-rambu dalam melakukan perbuatan diskresi, baik dari aspek prosedural maupun aspek substansial, untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang oleh aparat yang melakukan tindakan diskresi dalam pengadaan barang dan jasa yang mengakibatkan kerugian negara.

Penanganan atas kasus korupsi yang melibatkan aparatur pemerintah tidak dapat dilihat dari salah satu aspek hukum saja yakni hukum pidana saja, tetapi juga aspek hukum administrasi negara, mengingat para pelaku dalam pengadaan barang dan jasa adalah pejabat negara dan juga pegawai negari sipil. Kontrol yudisial terhadap tindakan diskresi dalam pengadaan barang dan jasa merupakan kontrol terhadap ada atau tidaknya perbuatan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara. Patokannya ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang adalah tujuan dari kewenangan diskresi itu terwujud atau tidak, sebagai konsekuensi diskresi berorientasi pada manfaat. Hal ini penting karena bertujuan memberikan pemahaman terhadap konsep penyalahgunaan wewenang dengan konsep melawan hukum atau melanggar hukum.

Dengan adanya pembedaan tersebut maka memudahkan dalam proses penegakan hukum yang mengangkut pengelolaan keuangan negara. Dengan pendekatan yang demikian maka akan diperoleh keadilan dalam penegakan hukum yang menempatkan subjek hukum sesuai dengan posisi atau jabatannya. Dalam kapasitas seseorang sebagai aparat pemerintah yang mengambil dan melaksanakan kewenangan diskresi tidak dapat dipisahkan posisinya sebagai pribadi, maupun sebagai pejabat yang sedang menjalankan fungsi pemerintahannya. Dengan demikian maka perbuatan melawan hukum atau perbuatan melanggar hukum adalah tanggung jawab pribadi sedangkan sedangkan penyalahgunaan wewenang berdampak pada tanggung jawab jabatan.

Dengan demikian maka benar jabatan itu mempunyai kapasitas sebagai pendukung hak dan kewajiban.

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Amiruddin, 2012, Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa, Genta Publising, Yogjakarta.

D. Darimurti, Krishna, 2012, Kekuasaan Diskresi Pemerintah, /Kajian mengenai Konsep, Dasar

Pengujian, dan Sarana Kontrol/, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Muchsan, 2007, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogjakarta.

Saidi, Muhammad Djapar, 2011, Hukum Keuangan Negara, Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta.

Witanto, D.Y., 2012, Dimensi Kerugian Negara dalam Hubungan Kontraktual (/Suatu Tinjauan Terhadap Resiko Kontrak dalam Proyek Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah/), Mandar Maju, Bandung.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-undang nomor 31 tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Perpres Nomor 70 tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.